Kota Manado adalah ibu kota dari provinsi Sulawesi Utara. Kota Manado seringkali disebut sebagai Menado. Motto Sulawesi Utara adalah Si Tou Timou Tumou Tou, sebuah filsafat hidup masyarakat Minahasa yang dipopulerkan oleh Sam Ratulangi, yang berarti: "Manusia hidup untuk memanusiakan orang lain" atau "Orang hidup untuk menghidupkan orang lain". Dalam ungkapan Bahasa Manado, sering kali dikatakan: "Baku beking pande" yang secara harafiah berarti "Saling menambah pintar dengan orang lain". Kota Manado berada di tepi pantai Laut Sulawesi persisnya di Teluk Manado. Taman Nasional Bunaken terletak tidak jauh dari pantai Kota Manado.
Pulau Sulawesi atau yang pada zaman
dahulu terkenal juga dengan sebutan Celebes ini, selain memiliki kekayaan alam
yang begitu melimpah baik berupa panorama yang menyejukkan pandangan, aneka
marga satwa yang lengkap, bahkan beberapa diantaranya merupakan binatang langka
dan endemic yang hanya hidup di Pulau ini seperti burung Maleo, Cuscus,
Babirusa, Anoa dan Tangkasii (Tarsius Spectrum), dan aneka fauna yang demikian
lengkap baik itu aneka bunga, sayur mayur dan juga berbagai variasi
buah-buahan.
Tanah yang subur nan eksotis ini
saja sudah cukup membuat kagum setiap siapa pun yang berkunjung ke tempat ini,
terlebih lagi budaya dan kearifan lokal warisan nenek moyang penduduk setempat
masih senantiasa lestari hingga detik ini dengan berbagai ritual upacara yang
senantiasa mereka pegang dan jalankan mengiringi siklus hidup dan babak-babak
terpenting dari keseharian mereka. Maka dari itu, sudah tak disangsikan lagi
dengan kombinasi variasi yang luar biasa dalam bidang panorama dan cara
kehidupan orang tertempat yang memiliki tradisi yang unik akan memikat
pengunjung dari luar.
Nah, pada kesempatan kali ini,
Budaya Nusantara akan mengulas secara singkat apa-apa saja budaya dan kearifan
lokal masyarakat Minahasa yang sampai saat ini masih tetap lestari di
tengah-tengah kehidupan mereka, terutama pada dan untuk upacara-upacara
adatnya.
Upacara
Adat Masyarakat Minahasa:
1. Monondeaga
Upacara adat ini merupakan sebuah upacara adat yang
biasa dilakukan oleh suku Minahasa terutama yang berdiam di daerah Bolaang
Mongondow. Pelaksanaan upacara adat ini sendiri adalah untuk memperingati atau
mengukuhkan seorang anak perempuan ketika memasuki masa pubertas yang ditandai
dengan datangnya haid pertama. Secara garis besar, upacara adat ini dilakukan
sebagai bentuk syukur dan sekaligus semacam uwar-uwar bahwa anak gadis dari
orang yang melaksanakan upacara adat ini telah menginjak masa pubertas. Untuk
itu, agar kecantikan dan kedewasaan sang anak gadis lebih mencorong, maka dalam
upacara adat ini sang gadis kecil pun daun telinganya ditindik dan dipasangi
anting-anting layaknya gadis yang mulai bersolek, kemudian gigi diratakan
(dikedawung) sebagai pelengkap kecantikan dan tanda bahwa yang bersangkutan
sudah dewasa.
2. Mupuk Im Bene
Sebenarnya upacara Mupuk Im Bene itu hakikatnya mirip
dengan upacara syukuran selepas melaksanakan panen raya, seperti halnya yang
lazim kita saksikan di pulau Jawa ketika menggelar acara mapag sri dan atau
munjungan. Dan memang, esensi dari ritual ini sendiri adalah untuk
mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan atas segala rizki yang mereka dapat,
atau yang dalam bahasa setempat disebut dengan Pallen Pactio. Prosesi dari
upacara adat ini adalah secara ringkas dapat digambarkan sebagai berikut:
Masyarakat yang hendak melaksanakan upacara Mupuk Im Bene ini membawa sekarung
padi bersama beberapa hasil bumi lainnya ke suatu tempat dimana upacara ini
akan dilakanakan (biasanya di lapangan atau gereja) untuk didoakan. Kemudian
selepas acara mendoakan hasil bumi ini selesai maka dilanjutkan dengan
makan-makan bersama aneka jenis makanan yang sebelumnya telah disiapkan oleh
ibu-ibu tiap rumah.
3. Metipu
Metipu merupakan sebuah upacara adat dari daerah
Sangihe Talaud berupa penyembahan kepada Sang Pencipta alam semesta yang
disebut Benggona Langi Duatan Saluran. Prosesi dari upacara adat ini adalah
dengan membakar daun-daun dan akar-akar yang mewangi dan menimbulkan asap
membumbung ke hadirat-Nya, sebagai bentuk permuliaan penduduk setempat terhadap
pencipta-Nya.
4. Watu Pinawetengan
Kalimat atau istilah Musyawarah untuk mencapai kata
mufakat dan bersatu kita teguh bercerai kita runtuh ternyata bukan hanya
monopoli beberapa kaum saja, dan tentu saja itu bukanlah isapan jempol yang
tanpa makna. Suku minahasa pun memiliki satu upacara adat yang memang
dilaksanakan untuk meneguhkan persatuan dan kesatuan anatar penduduknya.
Upacara adat itu dalam suku Minahasa disebut dengan upacara Watu Pinawetengan.
Konon berdasarkan cerita rakyat yang dipegang secara turun temurun, pada zaman
dahulu terdapatlah sebuah batu besar yang disebut tumotowa yakni batu yang
menjadi altar ritual sekaligus menandai berdirinya permukiman suatu komunitas.
Dan konon lagi kegunaan dari batu tersebut merupakan batu tempat duduk para
leluhur melakukan perundingan atau orang setempat menyebutnya Watu Rerumeran ne
Empung. Dan memang, ketika Johann Gerard Friederich Riedel pada tahun 1888
melakukan penggalian di bukit Tonderukan, ternyata penggalian berhasil
menemukan batu besar yang membujur dari timur ke barat. Batu tersebut merupakan
tempat bagi para pemimpin upacara adat memberikan keputusan (dalam bentuk garis
dan gambar yang dipahat pada batu) dalam hal membagi pokok pembicaraan, siapa
yang harus bicara, serta cara beribadat.
Sementara inti dari upacara yang
diselenggarakan di depan batu besar itu adalah wata’ esa ene yakni pernyataan
tekad persatuan. Semua perwakilan kelompok etnis yang ada di Tanah Toar Lumimut
mengantarkan bagian peta tanah Minahasa tempat tinggalnya dan meletakkan di
bagian tengah panggung perhelatan. Diiringi musik instrumentalia kolintang,
penegasan tekad itu disampaikan satu persatu perwakilan menggunakan pelbagai
bahasa di Minahasa. Setelah tekad disampaikan mereka menghentakkan kaki ke
tanah tiga kali. Pada penghujung acara para pelaku upacara bergandengan tangan
membentuk lingkaran sembari menyanyikan Reranian: Royorz endo.
Proses Pernikahan
Proses Pernikahan adat yang selama ini dilakukan di tanah
Minahasa telah mengalami penyesuaian seiring dengan perkembangan jaman. Misalnya
ketika proses perawatan calon pengantin serta acara "Posanan"
(Pingitan) tidak lagi dilakukan sebulan sebelum perkawinan, tapi sehari sebelum
perkawinan pada saat "Malam Gagaren" atau malam muda-mudi. Acara
mandi di pancuran air saat ini jelas tidak dapat dilaksanakan lagi, karena
tidak ada lagi pancuran air di kota-kota besar. Yang dapat dilakukan saat ini
adalah mandi adat "Lumelek" (menginjak batu) dan "Bacoho"
karena dilakukan di kamar mandi di rumah calon pengantin. Dalam pelaksanaan
upacara adat perkawinan sekarang ini, semua acara / upacara perkawinan
dipadatkan dan dilaksanakan dalam satu hari saja. Pagi hari memandikan
pengantin, merias wajah, memakai busana pengantin, memakai mahkota dan topi
pengantin untuk upacara "maso minta" (toki pintu). Siang hari kedua
pengantin pergi ke catatan sipil atau Departemen Agama dan melaksanakan
pengesahan/pemberkatan nikah (di Gereja), yang kemudian dilanjutkan dengan
resepsi pernikahan. Pada acara in biasanya dilakukan upacara perkawinan ada,
diikuti dengan acara melempar bunga tangan dan acara bebas tari-tarian dengan
iringan musik tradisional, seperti tarian Maengket, Katrili, Polineis,
diriringi Musik Bambu dan Musik Kolintang.
Adat pernikahan minahasa memiliki
perbedaan dengan adat pernikahan lainnya karena memiliki tata cara yang unik.
Namun, sayangnya seiring dengan perkembangan jaman dan karena keadaan yang
terjadi, maka kini sebagian tradisi tersebut telah ditinggalkan atau hanya
dilakukan sebagai simbolisasi saja. Beberapa tradisi dari adat pernikahan
tersebut antara lain adalah:
- Posanan.
Prosesi yang satu ini biasa kita sebut dengan pingitan. Jika sebelumnya
posanan ini dilakukan sejak sebulan sebelum hari pernikahan tiba maka saat
ini tradisi posanan hanya dilakukan sehari sebelum pernikahan dilangsungkan.
- Malam
gagaren atau biasa disebut masyarakat setempat sebagai malam muda-mudi.
Tradisi ini merupakan tradisi mandi di bawah pancuran yang saat ini tak
banyak dijumpai dilakukan oleh masyarakat. Karena permasalahan utamanya
adalah saat ini tidak adanya pancuran yang dapat digunakan.
- Lumelek.
Ini merupakan tradisi mandi menginjak batu yang dilakukan dalam pernikahan
adat di minahasa. Mandi lumelek dilakukan dengan mencampur Sembilan jenis
bebungaan yang berwarna putih yang memiliki bau yang harum.
- Mandi
Bacoho. Mandi bacoho merupakan mandi adat yang saat ini dapat dilakukan
dengan dua cara yakni secara tradisi lengkap maupun hanya secara
simbolisasi saja.
5. Tradisi : Bahan-bahan ramuan yang
digunakan adalah parutan kulit lemong nipis atau lemong bacoho (citrus
limonellus), fungsinya sebagai pewangi; air lemong popontolen (citrus lemetta),
fungsinya sebagai pembersih lemak kulit kepala; daun pondang (pandan) yagn
ditumbuk halus, fungsinya sebagai pewangi, bunga manduru (melati hutan) atau
bunga rosi (mawar) atau bunga melati yang dihancurkan dengan tangan, dan
berfungsi sebagai pewangi; minyak buah kemiri untuk melemaskan rambut dicampur
sedikit perasan air buah kelapa yang diparut halus. Seluruh bahan ramuan harus
berjumlah sembilan jenis tanaman, untuk membasuh rambut. Sesudah itu dicuci
lagi dengan air bersih lalu rambut dikeringkan.
6. Simbolisasi : Semua bahan-bahan ramuan
tersebut dimasukkan ke dalam sehelai kain berbentuk kantong, lalu dicelup ke
dalam air hangat, lalu kantong tersebut diremas dan airnya ditampung dengan
tangan, kemudian digosokkan kerambut calon pengantin sekadar simbolisasi.
7. Lumele’ (Mandi Adat): Pengantin disiram dengan air yang telah diberi
bunga-bungaan warna putih, berjumlah sembilan jenis bunga yang berbau wangi,
dengan mamakai gayung sebanyak sembilan kali di siram dari batas leher ke
bawah. Secara simbolis dapat dilakukan sekedar membasuh muka oleh pengantin itu
sendiri, kemudian mengeringkannya dengan handuk yang bersih dan belum pernah
digunakan sebelumnya.
Upacara
Perkawinan
Upacara
perkawinan adat Minahasa dapat dilakukan di salah satu rumah pengantin pria
ataupun wanita. Di Langowan-Tontemboan, upacara dilakukan dirumah pihak
pengantin pria, sedangkan di Tomohon-Tombulu di rumah pihak pengantin wanita.
Hal
ini mempengaruhi prosesi perjalanan pengantin. Misalnya pengantin pria ke rumah
pengantin wanita lalu ke Gereja dan kemudian ke tempat acara resepsi. Karena
resepsi/pesta perkawinan dapat ditanggung baik oleh pihak keluarga pria maupun
keluarga wanita, maka pihak yang menanggung biasanya yang akan memegang komando
pelaksanaan pesta perkawinan. Ada perkawinan yang dilaksanakan secaraMapalus dimana kedua pengantin dibantu
oleh mapalus warga desa, seperti di desa Tombuluan. Orang Minahasa penganut
agama Kristen tertentu yang mempunyai kecenderungan mengganti acara pesta malam
hari dengan acara kebaktian dan makan malam.
Orang
Minahasa di kota-kota besar seperti kota Manado, mempunyai kebiasaan yang sama
dengan orang Minahasa di luar Minahasa yang disebut Kawanua. Pola hidup
masyarakat di kota-kota besar ikut membentuk pelaksanaan upacara adat
perkawinan Minahasa, menyatukan seluruh proses upacara adat perkawinan yang
dilaksanakan hanya dalam satu hari (Toki Pintu, Buka/Putus Suara, Antar harta,
Prosesi Upacara Adat di Pelaminan).
Contoh
proses upacara adat perkawinan yang dilaksanakan dalam satu hari :
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pukul 09.00 pagi, upacara Toki Pintu. Pengantin pria kerumah pengantin wanita sambil membawa antaran (mas kawin), berupa makanan masak, buah-buahan dan beberapa helai kain sebagai simbolisasi. Wali pihak pria memimpin rombongan pengantin pria, mengetuk pintu tiga kali.
Pertama : Tiga ketuk dan pintu akan
dibuka dari dalam oleh wali pihak wanita. Lalu dilakukan dialog dalam bahasa
daerah Minahasa. Kemudian pengantin pria mengetok pintu kamar wanita. Setelah
pengantin wanita keluar dari kamarnya, diadakan jamuan makanan kecil dan
bersiap untuk pergi ke Gereja.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Pukul 11.00-14.00 : Melaksanakan perkawinan di Gereja yang sekaligus dinikahkan oleh negara, (apabila petugas catatan sipil dapat datang ke kantor Gereja). Untuk itu, para saksi kedua pihak lengkap dengan tanda pengenal penduduk (KTP), ikut hadir di Gereja.
Pukul 19.00 : Acara resepsi kini jarang dilakukan di rumah kedua pengantin, namun menggunakan gedung / hotel.
Apabila
pihak keluarga pengantin ingin melaksanakan prosesi upacara adat perkawinan,
ada sanggar-sanggar kesenian Minahasa yang dapat melaksanakannya. Dan prosesi
upacara adat dapat dilaksanakan dalam berbagai sub-etnis Minahasa, hal ini
tergantung dari keinginan atau asal keluarga pengantin. Misalnya dalam versi
Tonsea, Tombulu, Tontemboan ataupun sub-etnis Minahasa lainnya.
Prosesi
upacara adat berlangsung tidak lebih dari sekitar 15 menit, dilanjutkan dengan
kata sambutan, melempar bunga tangan, potong kue pengantin , acara salaman,
makan malam dan sebagai acara terakhir (penutup) ialah dansa bebas yang dimulai
dengan Polineis.
Prosesi
Upacara Perkawinan di Pelaminan
Penelitian
prosesi upacara perkawinan adat dilakukan oleh Yayasan Kebudayaan Minahasa
Jakarta pimpinan Ny. M. Tengker-Rombot di tahun 1986 di Minahasa. Wilayah yang
diteliti adalah Tonsea, Tombulu, Tondano dan Tontemboan oleh Alfred Sundah,
Jessy Wenas, Bert Supit, dan Dof Runturambi. Ternyata keempat wilayah sub-etnis
tersebut mengenal upacara Pinang, upacara Tawa’ang dan minum dari mangkuk bambu
(kower). Sedangkan upacara membelah kayu bakar hanya dikenal oleh sub-etnis
Tombulu dan Tontemboan. Tondano mengenal upacara membelah setengah tiang
jengkal kayu Lawang dan Tonsea-Maumbi mengenal upacara membelah Kelapa.
Setelah
kedua pengantin duduk di pelaminan, maka upacara adat dimulai dengan memanjatkan
doa oleh Walian disebut Sumempung (Tombulu)
atau Sumambo (Tontemboan). Kemudian dilakukan upacara "Pinang
Tatenge’en". Kemudian dilakukan upacara Tawa’ang dimana kedua mempelai memegang
setangkai pohon Tawa’ang megucapkan ikrar dan janji. Acara berikutnya adalah
membelah kayu bakar, simbol sandang pangan. Tontemboan membelah tiga potong
kayu bakar, Tombulu membelah dua. Selanjutnya kedua pengantin makan sedikit
nasi dan ikan, kemudian minum dan tempat minum terbuat dari ruas bambu muda
yang masih hijau. Sesudah itu, meja upacara adat yang tersedia didepan
pengantin diangkat dari pentas pelaminan. Seluruh rombongan adat mohon diri
meniggalkan pentas upacara. Nyanyian-nyanyian oleh rombongan adat dinamakan
Tambahan (Tonsea), Zumant (Tombulu) yakni lagu dalam bahasa daerah.
Bahasa
upacara adat perkawinan yang digunakan, berbentuk sastra bahasa sub-etnis
Tombulu, Tontemboan yang termasuk bahasa halus yang penuh perumpamaan nasehat.
Prosesi perkawinan adat versi Tombulu menggunakan penari Kabasaran sebagai anak buah Walian
(pemimpin Upacara adat perkawinan). Hal ini disebabkan karena penari Kabasaran
di wilayah sub-etinis lainnya di Minahasa, belum berkembang seperti halnya di
wilayah Tombulu. Pemimpin prosesi upacara adat perkawinan bebas melakukan
improvisasi bahasa upacara adat. Tapi simbolisasi benda upacara, seperti :
Sirih-pinang, Pohon Tawa’ang dan tempat minum dari ruas bambu tetap sama
maknanya.
SUMBER :
Ø Pusat
Penelitian Sejarah dan Budaya, 1978, Adat dan upacara perkawinan daerah
Sulawesi Utara, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Ø Direktorat
Jenderal Kebudayaan,,1999. Pandangan generasi muda terhadap upacara perkawinan
adat di kota Manado, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Nama :
Alisar Akbar 1b115157
Prio Himawan 1b115162
Ramadhanu Tri Yuwana 1b115194