Kondisi stabilitas Indonesia ahir-ahir ini sangatlah
menghawatirkan, terutama setelah era reformasi telah digulirkan. Kekacauan
terjadi disegala aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, social, ekonomi,
kultur-budaya, hukum dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita ketahui dari
beberapa fenomena-fenomena yang terjadi ditanah air yang tentunya tidak
terlepas dari semakin melemahnya beberapa lapisan diatas.
Salah satu dari indikasi yang mempunyai kaitan erat dengan
fenomena-fenomena diatas adalah semakin meningkatnya perilaku korupsi yang
terjadi disegala bidang, lapisan lembaga-lembaga negara mulai dari tingkat
pusat sampai tingkat daerah. Bahkan yang lebih parah lagi, tindakan tersebut
dilakukan secara terbuka tanpa ada tekanan moral yang seharusnya menjadi
prinsip utama mereka didalam menjalankan amanat rakyat. Fakta telah membuktikan
terhadap indikasi ini, yaitu semakin banyaknya pejabat negara yang terjerat
kasus korupsi mulai dari pejabat tingkat daerah sampai pejabat tigkat pusat.
Selain itu keadaan tersebut semakin diperparah dengan
kondisi lembaga hukum yang juga mengalami kemerosotan yang sangat mengenaskan,
dimana rasa dan nilai-nilai keadilan semakin jauh dari lembaga ini, hal ini
kita ditandai dengan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga
ini, yang ditandai dengan tindakan-tindakan eeigent rechting yang banyak terjadi
ahir-ahir ini, seperti tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat
didalam merespon tindak melawan hukum, demiontrasi terjadi dimana-mana. Hal ini
diakibatkan rasa frustasi masyarakat terhadap lembaga hukum dan lemahnya respon
pemerintah yang tidak menjalankan fungsi dengan semestinya. Tidak sedikit
kasus-kasus hukum yang terkesan mendapat perlindungan hukum khusus dengan tidak
menyertakan alasan yang jelas, atau putusan hukum yang tidak sebanding dengan
tindakan serta akibat dari tindakan melawan hukum tersebut. Selain itu juga
adanya indikasi kebijakan pemerintah yang tidak menyeluruh serta rasa ketidak
amanan yang dirasakan masyarakat juga tidak terlepas dari fenomena ini.
Oleh karena itu, untuk mencegah terhadap berlanjutnya
fenomena-fenomena tersebut diatas dibutuhkan lembaga-lembaga baik yang
independen atau non-independen yang dapat mengawasi serta dapat mengendalikan
terhadap tindakan-tindakan lembaga-lembaga negara terutama terhadap para
aparatur pemerintah disetiap departemen-departemen khususnya ketika dalam
keadaan menjalankan fungsi-fungsinya. Dalam hal ini lembaga pers baik cetak
maupun elektronik dapat berperan aktif didalam proses pengawasan terhadap
kinerja lembaga negara atau apararatur pemerintah didalam menjalankan fungsi-fungsi
tersebut.
Adapun fungsi pengawasan tersebut secara umum dapat
mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi prefentif dan fungsi represif. Yang dimaksud
dengan fungsi prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebalum ada kejadian
dalam arti lain tindakan ini bisa disebut dengan tindakan berjaga-jaga atau
pencegahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan repreif, yaitu tindakan
yang dilakukan setelah adanya kejadian dalam kata lain tindakan ini dapat
disebu dengan tindakan
Pemerintah sebagai wujud dari kedaulatan rakyat mempunyai
tugas untuk melaksanakan terhadap amanah yang telah embannya, namun
bagaimanapun subjek pemerintah dalam hal ini aparatur pemerintah tidaklah
mutlak untuk senantiasa melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Hal ini
tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki oleh personal yang
menjalankan.
Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat
mengawasi segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Prof.
Dr. Muchsan SH, dalam pengawasan tersebut meliputi dari perencanaan,
pelaksanaakn serta hasil dari suatu program pemerintah[1]. Dimana yang menjadi
objek dari pengawasan disini meliputi aparatur pemerintah, produk hukum yang
dihasilkan, serta sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan
fungsi-fungsinya.
Terkait dengan tahapan awal (tahap perencanaan) didalam
pembuatan kebijakan Prof. Budi winarto merumuskan tiga tahapapan, yaitu:
Pertama, perumusan masalah( Defining problem). Untuk dapat
merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah masyarakat harus
dikenali dan didefinisikan dengan baik pula.
Kedua, agenda kebijakan. Yaitu bagaimana masalah tersebut
mendapakan perhatian para pengambil kebijakan ditingkat pemerintah, dengan cara
memenuhi persyaratan-persyaratannya.
Ketiga, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan
masalah. Biasanya dalam tahap ini para perumus suatu kebijakan akan dihadapkan
pada pertarungan kepentingan antar berbagai actor yang terlibat dalam perumusan
kebijakan.[2]
Keempat, tahap penetapan kebijakan, setelah melalui beberapa
tahapan-tahapan diatas maka yag terahir dalam tingkatan ini adalah tahap
penetapan kebijakan tersebut, supaya memiliki kekuatan hukum. Penetapan
kebijakan public disini dapat berbentuk Undang-Undang, Yurisprudensi, Keputusan
presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.
Dalam proses perencanaan ini, lembaga yang mempunyai peran
penuh (Full Power) didalam menjalankan pengawasan adalah Dwan Perwakilan Rakyat
(DPR). Hal ini tercantum dalam pasal 20 A UUD 1945 yang berbunyi; “Dewan
Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi
pengawasan” dan dipertegas dengan pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang.”
Dalam kedua pasal tersebut disebut secara ekplisit terutama
pasal 21, dengan demikian DPR mempunyai fungsi pengawawasan terhadap proses
dari suatu rancangan perundang-undangan, sehingga meminimalisir
tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang.
Lembaga pemerintah mempunyai instrumen dasar didalam
merumuskan program-program yang akan dilakukannya baik yang berupa jangka
pendek atau jangka panjang, yaitu melaluli Program Legislasi Nasional
(PROLEGNAS), adapun yang berwenanga untuk menentukan komposisi lembaga ini
adalah presiden bersama Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Ditingkat daerah
dikenal dengan Program Legislasi Daerah (PROLEGDA).
Kemudian dalam tahap pelaksanaan fungsi aparat pemerinrah.
Disini yang berperan sebagai pengawas ada berbagai macam. Secara garis besar
dibagi menjadi dua, yaitu; lembaga formal dan lembaga nonformal (Independen).
Yang dimaksud dengan lembaga formal adalah lembaga di yang didasari oleh UUD
atau UU.
Adapun lembaga-lembaga yang mempunyai peran dalam
memaksimalkan fungsi pengawasan disini adalah:
1. Politica control
Menjalankan fungsi ini adalah lembaga-lembaga politik
seperti lemabag Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD),
Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Badan
Perwakilan Desa (BPD), Peradilan Tindak Pidan Korupsi (TIPIKOR).
2. Social Control
Disini yang berperan adalah mayarakat sendiri, seperti Opini
yang disampaikan dalam kolom yang biasanya telah disediakan oleh media-media
cetak seperti Koran, majalah. Atau dengan cara melakukan demontrasi.
3. Administrative control
Adapun yang melaksanakan fungsi control disini adalah
lembaga itu sendiri baik secara formal semisal dengan peraturan yang
dikeluarkan oleh deparemen terkait persoalan internal. Atau dengan cara
melakukan tindakan positif seperti melakukan inspeksi mendadak terhadap aktivitas-aktivitas
aparatur pemerintah.
System pengawasan ini dibagi menjadi dua. pertama system
pengawasan besifat melekat. Pengawasan ini sendiri mempunyai dua istilah 1.
System pengawasan melekat 2. System pengawasan dari atassan langsung. System
pengawasan ini diatur dalam Inpres No. 15 tahun 1983.
Kedua, pengawasan yang bersifat fungsional. System
pengawasan ini diatur dalam Inpres no. 15 tahun1983 tepatnya pasal 2 ayat
(1)yag menyatakan bahwa pengawasan terdiri dari 1. Pengawasa yang diakukan oleh
pimpinan/atasan langsung baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah 2.
Pengawasan yag dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawas.
4. Yuridical control
Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman disini adalah
kekuasaan untuk mengadili. Berdasaran UU No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok
kekuasaan kehakiman, yang melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah lembaga
peradilan yang berpuncak Mahkamah Agung.
Secara teoritis untuk adanya suatu peradilan diperlukan
adanya unsure-unsur sebagai berikut:
a. Adanya sengketa yang kingkrit.
Yang dimaksud dengan sengketa adalah perbedaan pendapat
ataupun suatu kewajiban. Dikatakan kongkrit apabila sengketa tersebut
penyelesaiannya telah diserahkan pada instansi ataupun lembaga yang berwajib.
b. Yang bersengketa sekurang-kurangnya ada dua pihak
Apabila mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang
sama ada pendapat yang berlainan antara dua belah pihak, maka dikatakan ada
perselisihan paham atau sengketa atau konflik. Jika yang dimasalahkan merupakan
masalah hukum, terjadilah sengketa hukum. Sengketa hukum antara dua pihak
inilah yang merupakan yang menjadi pnyebab imbulnya peradilan.
c. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang dapat
diterapkan terhadap sengketa tersebut.
Dalam setiap peradilan, baik peradilan sipil, pidana maupun
administrative, selalu terdapat aturan abstrak yang mengikat umum yang dapat
diterapkan. Aturan hukum tersebut dapat berupa aturan tertulis yang berbentuk
undang-undang, tetapi juga dapat berupa aturan yang tidak tertulis yang diakui
eksistensinya oleh undang-undang, seperti ketentuan hukum adat. Aturan hukum
ini harus sudah ada pada saat akan diterapkan oleh petugas.
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang mempunyai kewenangan
untuk memutus sengketa hukum tersebut.
Yang dimaksud memberi keputusan adalah menetapkan suatu
aturan hukum yang abstrak pada suatu sengketa kongkrit, yang bersifat mengikat
bagi pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga dengan demikian berahirlah
perselisihan yang timbul, kecuali dalam hal-hal yang masih dimungkinkan untuk
naik banding atau kasasi.[3]
5. Ombudsman
Pertama kali di Indonesia lembaga dibentuk berdasarkan
kepada undang-undang nomer 44 tahun 2004 yang berisi tentang ombudsman. Lembaga
ini juga bersifat independen, akan tetapi tidak mempunyai atau tidak diberi
kewenangan secara hukum, dalam artian tidak memiliki akibat hukum. Sehingga
apabila ada indikasi-indikasi penyimpangan didalamnya, maka tidak mempunyai
atau tidak dapat dikenai sangsi.[4]
6. Independen control
lembaga disini adalah bukanlah lembaga negara, yaitu suatu
organisasi yang didirikan personal tanpa adanya peran serta negara dalam
perencanaan, pelaksanaan, serta control dari efektifitas lembaga ini. Biasanya
lembaga ini mendapat dukungan atau support dari perorangan, perusahaan, lembaga-lembaga
social baik dari dalam atau luar negeri.
Lembaga ini mempunyai independensi yang sangat tinggi,
sehingga daya kontrolnya dapat dipastikan mempunyai kwalitas yang sangat
tinggi. Biasanya lembaga ini berbentuk lembaga social seperti lembaga swadaya
masyarakat (LSM), di Indonesia yang terkenal ICW, PUKAT, dan lain sebagainya.
Kesimpulan
Pemerintah menjalankan amanat negara mempuyai tiga proses,
pertama tahap perencanaan, kedua tahap pelaksanaan dan ketiga tahap evaluasi
dan hasil. Untuk mencapai suatu keseimbangan antara beberapa tahap tersebut,
perlu adanya lembaga-lembaga baik independen atau non-independen yang dapat
mengontrol dalam setiap tahapan-tahapan tersebut, terutama sekali pada tahap
pelaksanaan. Hal ini dikarenakan tahap ini merupakan pusat keberhasilan dari
kedua tahap yang lain.
Adapun lembaga-lembaga yang dapat mengontrol atau yang dapat
melaksanakan fungsi pengawasan adalah lembaga-lembaga berikut ini:
1. lembaga politik meliputi DPR, DPRD, DPD, BPD, BPK,
TIPIKOR dan lain sebagainya.
2. Konrol masyarakat secara langsung (Social control)
3. Lembaga administrative itu sendiri
4. Lembaga peradilan (Yuridical control)
5. Lembaga Ombudsman
6. Lembaga Independen (independen control)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.