Kamis, 10 Januari 2013

73.pengawasan dalam pemerintah


Kondisi stabilitas Indonesia ahir-ahir ini sangatlah menghawatirkan, terutama setelah era reformasi telah digulirkan. Kekacauan terjadi disegala aspek kehidupan, mulai dari aspek politik, social, ekonomi, kultur-budaya, hukum dan lain sebagainya. Hal ini dapat kita ketahui dari beberapa fenomena-fenomena yang terjadi ditanah air yang tentunya tidak terlepas dari semakin melemahnya beberapa lapisan diatas.
Salah satu dari indikasi yang mempunyai kaitan erat dengan fenomena-fenomena diatas adalah semakin meningkatnya perilaku korupsi yang terjadi disegala bidang, lapisan lembaga-lembaga negara mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Bahkan yang lebih parah lagi, tindakan tersebut dilakukan secara terbuka tanpa ada tekanan moral yang seharusnya menjadi prinsip utama mereka didalam menjalankan amanat rakyat. Fakta telah membuktikan terhadap indikasi ini, yaitu semakin banyaknya pejabat negara yang terjerat kasus korupsi mulai dari pejabat tingkat daerah sampai pejabat tigkat pusat.
Selain itu keadaan tersebut semakin diperparah dengan kondisi lembaga hukum yang juga mengalami kemerosotan yang sangat mengenaskan, dimana rasa dan nilai-nilai keadilan semakin jauh dari lembaga ini, hal ini kita ditandai dengan semakin merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini, yang ditandai dengan tindakan-tindakan eeigent rechting yang banyak terjadi ahir-ahir ini, seperti tindakan main hakim sendiri yang dilakukan masyarakat didalam merespon tindak melawan hukum, demiontrasi terjadi dimana-mana. Hal ini diakibatkan rasa frustasi masyarakat terhadap lembaga hukum dan lemahnya respon pemerintah yang tidak menjalankan fungsi dengan semestinya. Tidak sedikit kasus-kasus hukum yang terkesan mendapat perlindungan hukum khusus dengan tidak menyertakan alasan yang jelas, atau putusan hukum yang tidak sebanding dengan tindakan serta akibat dari tindakan melawan hukum tersebut. Selain itu juga adanya indikasi kebijakan pemerintah yang tidak menyeluruh serta rasa ketidak amanan yang dirasakan masyarakat juga tidak terlepas dari fenomena ini.
Oleh karena itu, untuk mencegah terhadap berlanjutnya fenomena-fenomena tersebut diatas dibutuhkan lembaga-lembaga baik yang independen atau non-independen yang dapat mengawasi serta dapat mengendalikan terhadap tindakan-tindakan lembaga-lembaga negara terutama terhadap para aparatur pemerintah disetiap departemen-departemen khususnya ketika dalam keadaan menjalankan fungsi-fungsinya. Dalam hal ini lembaga pers baik cetak maupun elektronik dapat berperan aktif didalam proses pengawasan terhadap kinerja lembaga negara atau apararatur pemerintah didalam menjalankan fungsi-fungsi tersebut.
Adapun fungsi pengawasan tersebut secara umum dapat mempunyai dua fungsi, yaitu fungsi prefentif dan fungsi represif. Yang dimaksud dengan fungsi prefentif adalah pengawasan yang dilakukan sebalum ada kejadian dalam arti lain tindakan ini bisa disebut dengan tindakan berjaga-jaga atau pencegahan. Sedangkan yang dimaksud dengan tindakan repreif, yaitu tindakan yang dilakukan setelah adanya kejadian dalam kata lain tindakan ini dapat disebu dengan tindakan
Pemerintah sebagai wujud dari kedaulatan rakyat mempunyai tugas untuk melaksanakan terhadap amanah yang telah embannya, namun bagaimanapun subjek pemerintah dalam hal ini aparatur pemerintah tidaklah mutlak untuk senantiasa melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya. Hal ini tidak terlepas dari berbagai kelemahan yang dimiliki oleh personal yang menjalankan.
Oleh karena itu perlu adanya suatu lembaga yang dapat mengawasi segala bentuk aktifitas yang dilakukan oleh pemerintah. Menurut Prof. Dr. Muchsan SH, dalam pengawasan tersebut meliputi dari perencanaan, pelaksanaakn serta hasil dari suatu program pemerintah[1]. Dimana yang menjadi objek dari pengawasan disini meliputi aparatur pemerintah, produk hukum yang dihasilkan, serta sarana yang digunakan oleh pemerintah dalam menjalankan fungsi-fungsinya.
Terkait dengan tahapan awal (tahap perencanaan) didalam pembuatan kebijakan Prof. Budi winarto merumuskan tiga tahapapan, yaitu:
Pertama, perumusan masalah( Defining problem). Untuk dapat merumuskan kebijakan dengan baik, maka masalah-masalah masyarakat harus dikenali dan didefinisikan dengan baik pula.
Kedua, agenda kebijakan. Yaitu bagaimana masalah tersebut mendapakan perhatian para pengambil kebijakan ditingkat pemerintah, dengan cara memenuhi persyaratan-persyaratannya.
Ketiga, pemilihan alternative kebijakan untuk memecahkan masalah. Biasanya dalam tahap ini para perumus suatu kebijakan akan dihadapkan pada pertarungan kepentingan antar berbagai actor yang terlibat dalam perumusan kebijakan.[2]
Keempat, tahap penetapan kebijakan, setelah melalui beberapa tahapan-tahapan diatas maka yag terahir dalam tingkatan ini adalah tahap penetapan kebijakan tersebut, supaya memiliki kekuatan hukum. Penetapan kebijakan public disini dapat berbentuk Undang-Undang, Yurisprudensi, Keputusan presiden, keputusan-keputusan menteri dan lain sebagainya.
Dalam proses perencanaan ini, lembaga yang mempunyai peran penuh (Full Power) didalam menjalankan pengawasan adalah Dwan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini tercantum dalam pasal 20 A UUD 1945 yang berbunyi; “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan” dan dipertegas dengan pasal 21 yang berbunyi: “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat berhak mengajukan rancangan undang-undang.”
Dalam kedua pasal tersebut disebut secara ekplisit terutama pasal 21, dengan demikian DPR mempunyai fungsi pengawawasan terhadap proses dari suatu rancangan perundang-undangan, sehingga meminimalisir tindakan-tindakan yang bersifat menyimpang.
Lembaga pemerintah mempunyai instrumen dasar didalam merumuskan program-program yang akan dilakukannya baik yang berupa jangka pendek atau jangka panjang, yaitu melaluli Program Legislasi Nasional (PROLEGNAS), adapun yang berwenanga untuk menentukan komposisi lembaga ini adalah presiden bersama Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Ditingkat daerah dikenal dengan Program Legislasi Daerah (PROLEGDA).
Kemudian dalam tahap pelaksanaan fungsi aparat pemerinrah. Disini yang berperan sebagai pengawas ada berbagai macam. Secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu; lembaga formal dan lembaga nonformal (Independen). Yang dimaksud dengan lembaga formal adalah lembaga di yang didasari oleh UUD atau UU.
Adapun lembaga-lembaga yang mempunyai peran dalam memaksimalkan fungsi pengawasan disini adalah:
1. Politica control
Menjalankan fungsi ini adalah lembaga-lembaga politik seperti lemabag Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Badan Perwakilan Desa (BPD), Peradilan Tindak Pidan Korupsi (TIPIKOR).
2. Social Control
Disini yang berperan adalah mayarakat sendiri, seperti Opini yang disampaikan dalam kolom yang biasanya telah disediakan oleh media-media cetak seperti Koran, majalah. Atau dengan cara melakukan demontrasi.
3. Administrative control
Adapun yang melaksanakan fungsi control disini adalah lembaga itu sendiri baik secara formal semisal dengan peraturan yang dikeluarkan oleh deparemen terkait persoalan internal. Atau dengan cara melakukan tindakan positif seperti melakukan inspeksi mendadak terhadap aktivitas-aktivitas aparatur pemerintah.
System pengawasan ini dibagi menjadi dua. pertama system pengawasan besifat melekat. Pengawasan ini sendiri mempunyai dua istilah 1. System pengawasan melekat 2. System pengawasan dari atassan langsung. System pengawasan ini diatur dalam Inpres No. 15 tahun 1983.
Kedua, pengawasan yang bersifat fungsional. System pengawasan ini diatur dalam Inpres no. 15 tahun1983 tepatnya pasal 2 ayat (1)yag menyatakan bahwa pengawasan terdiri dari 1. Pengawasa yang diakukan oleh pimpinan/atasan langsung baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah 2. Pengawasan yag dilakukan secara fungsional oleh aparat pengawas.
4. Yuridical control
Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman disini adalah kekuasaan untuk mengadili. Berdasaran UU No. 14 tahun 1970 tentang pokok-pokok kekuasaan kehakiman, yang melaksanakan kekuasaan kehakiman adalah lembaga peradilan yang berpuncak Mahkamah Agung.
Secara teoritis untuk adanya suatu peradilan diperlukan adanya unsure-unsur sebagai berikut:
a. Adanya sengketa yang kingkrit.
Yang dimaksud dengan sengketa adalah perbedaan pendapat ataupun suatu kewajiban. Dikatakan kongkrit apabila sengketa tersebut penyelesaiannya telah diserahkan pada instansi ataupun lembaga yang berwajib.
b. Yang bersengketa sekurang-kurangnya ada dua pihak
Apabila mengenai masalah tertentu pada saat dan keadaan yang sama ada pendapat yang berlainan antara dua belah pihak, maka dikatakan ada perselisihan paham atau sengketa atau konflik. Jika yang dimasalahkan merupakan masalah hukum, terjadilah sengketa hukum. Sengketa hukum antara dua pihak inilah yang merupakan yang menjadi pnyebab imbulnya peradilan.
c. Adanya suatu aturan hukum yang abstrak yang dapat diterapkan terhadap sengketa tersebut.
Dalam setiap peradilan, baik peradilan sipil, pidana maupun administrative, selalu terdapat aturan abstrak yang mengikat umum yang dapat diterapkan. Aturan hukum tersebut dapat berupa aturan tertulis yang berbentuk undang-undang, tetapi juga dapat berupa aturan yang tidak tertulis yang diakui eksistensinya oleh undang-undang, seperti ketentuan hukum adat. Aturan hukum ini harus sudah ada pada saat akan diterapkan oleh petugas.
d. Adanya suatu aparatur peradilan yang mempunyai kewenangan untuk memutus sengketa hukum tersebut.
Yang dimaksud memberi keputusan adalah menetapkan suatu aturan hukum yang abstrak pada suatu sengketa kongkrit, yang bersifat mengikat bagi pihak-pihak yang bersangkutan, sehingga dengan demikian berahirlah perselisihan yang timbul, kecuali dalam hal-hal yang masih dimungkinkan untuk naik banding atau kasasi.[3]
5. Ombudsman
Pertama kali di Indonesia lembaga dibentuk berdasarkan kepada undang-undang nomer 44 tahun 2004 yang berisi tentang ombudsman. Lembaga ini juga bersifat independen, akan tetapi tidak mempunyai atau tidak diberi kewenangan secara hukum, dalam artian tidak memiliki akibat hukum. Sehingga apabila ada indikasi-indikasi penyimpangan didalamnya, maka tidak mempunyai atau tidak dapat dikenai sangsi.[4]

6. Independen control
lembaga disini adalah bukanlah lembaga negara, yaitu suatu organisasi yang didirikan personal tanpa adanya peran serta negara dalam perencanaan, pelaksanaan, serta control dari efektifitas lembaga ini. Biasanya lembaga ini mendapat dukungan atau support dari perorangan, perusahaan, lembaga-lembaga social baik dari dalam atau luar negeri.
Lembaga ini mempunyai independensi yang sangat tinggi, sehingga daya kontrolnya dapat dipastikan mempunyai kwalitas yang sangat tinggi. Biasanya lembaga ini berbentuk lembaga social seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), di Indonesia yang terkenal ICW, PUKAT, dan lain sebagainya.

Kesimpulan
Pemerintah menjalankan amanat negara mempuyai tiga proses, pertama tahap perencanaan, kedua tahap pelaksanaan dan ketiga tahap evaluasi dan hasil. Untuk mencapai suatu keseimbangan antara beberapa tahap tersebut, perlu adanya lembaga-lembaga baik independen atau non-independen yang dapat mengontrol dalam setiap tahapan-tahapan tersebut, terutama sekali pada tahap pelaksanaan. Hal ini dikarenakan tahap ini merupakan pusat keberhasilan dari kedua tahap yang lain.
Adapun lembaga-lembaga yang dapat mengontrol atau yang dapat melaksanakan fungsi pengawasan adalah lembaga-lembaga berikut ini:
1. lembaga politik meliputi DPR, DPRD, DPD, BPD, BPK, TIPIKOR dan lain sebagainya.
2. Konrol masyarakat secara langsung (Social control)
3. Lembaga administrative itu sendiri
4. Lembaga peradilan (Yuridical control)
5. Lembaga Ombudsman
6. Lembaga Independen (independen control)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.